Home / Opini

Kamis, 2 Juni 2022 - 01:24 WIB

SEJARAH: MENJADI SAKSI KEMATIAN MARGA (1)

 

Oleh: Hendy UP *)

Disclaimer: Tulisan ini semata-mata tentang pengalaman pribadi penulis sejak akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Rujukan utamanya adalah catatan harian penulis dan berbagai literatur terkait. Jika terdapat kesalahan nama tokoh, tempat atau tahun, bahkan kekeliruan tafsir atas pasal undang-undang, dimohon untuk segera mengoreksi agar tidak terjadi kesalahan- jariyah. Semoga tulisan ini menambah khazanah kisah dan catatan sejarah Marga di Sumatera Selatan dengan versi lain. [***]

Barangkali, bersama jutaan warga Sumatera Selatan atau ribuan warga negeri Silampari (Musirawas, Lubuklinggau dan Muratara), aku adalah salah satu saksi kematian Pemerintahan Marga. Prosesi sakaratul mautnya sangat menyedihkan, bahkan mengenaskan! Disebut menyedihkan, karena malakul mautnya adalah “ayah-kandung” nya sendiri, yakni Pemerintah RI; disebut mengenaskan karena prosesi “sakaratul maut”-nya cukup lama. Sekitar lima tahun. Yakni ketika mulai pembahasan usulan RUU tahun 1978, hingga terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa, juncto Keputusan Gubernur Sumsel No. 142/Kpts/III/1983 tanggal 24 Maret 1983 tentang Pembubaran Pemerintahan Marga.

Tentu saja, Gubernur Sainan Sagiman kala itu tidak bisa disalahkan. Tetapi sangat disayangkan, agaknya tidak ada upaya yang gigih dengan mengajak stakeholders dan komunitas adat saat itu, untuk “melawan” pemerintah pusat demi menangguhkan UU tentang Desa, setidaknya secara eksepsional di wilayah hukum Sumatera Selatan.

Baca Juga :  KEBON SAWIT TABAPINGIN 1870 (1)

Bagi generasi milenial, yang mungkin asing dengan istilah “marga”, perlu difahamkan bahwa: “Pemerintahan Marga adalah sebuah entitas dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) dan secara hierarkis berada di wilayah swatantra tingkat tiga; berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan yang menjunjung tinggi dan berlandaskan hukum adat (dan adat-istiadat) serta diakui negara sebagai salah satu model pemerintahan yang khas dan mandiri (zelfbesturende landschappen) sebagaimana tercantum di dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945”.

Awal keberadaan Pemerintah Marga di “Sumatera Selatan Bari” (termasuk Lampung dan Bengkulu), masih menjadi perdebatan para sejarawan. Ada yang menduga, entitas Marga dalam bentuknya yang sangat sederhana telah terbentuk jauh sebelum abad ke-7, ketika Dapunta Hyang Srijayanasa membangun kerajaan Sriwijaya yang masyhur pada tahun 682 Masehi. Ada pula yang menduga pada era Raja Ario Damar (Ario Dilah) putra Brawijaya V, ahli mesiu Majapahit yang bertahta di Kerajaan Palembang pada tahun 1455-1485.

Pun pula, ada yang meyakini bahwa Pemerintahan Marga terbentuk pada era berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam (1659), setelah Pangeran Ario Kesumo memisahkan diri dari Kesultanan Demak dan/atau Mataram Islam. Tentu saja, ini terkelit-kelindan dengan hiruk-pikuk Revolusi Islam Demak tahun 1518-1549 yang memisahkan diri dari Majapahit.

Baca Juga :  Mbah Warto dan Jejak Pejuang BRN Airtemam (1)

Hal ini mendorong sebagian keturunan dan loyalis Pangeran Trenggono di kawasan Pantura Jawa hijrah ke Palembang dengan membawa serta norma kehidupan Islaminya. Termasuklah norma syariat yang kelak dipadukan dengan adat-istiadat Palembang dan dilembagakan secara resmi oleh Pemerintahan Ratu Sinuhun (1630-1642). Menurut catatan sejarawan, pada tahun 1854, norma adat istiadat yang bernuansa syariah Islamiyah tersebut dijelmakan menjadi UU Simbur Cahaya, yang menjadi ruh penyelenggaraan Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan.

Terlepas dari polemik era awal terbentuknya Pemerintahan Marga, namun yang jelas jumlah Marga di wilayah Sumbagsel pada tahun 1936 tercatat 313 marga (Arlan Ismail, 2004). Adapun rinciannya: Keresidenan Palembang 174 marga, Lampung 58 marga dan Bengkulu 81 marga. Sedangkan pada saat pembubaran Marga tahun 1983, di wilayah Provinsi Sumsel saja, konon tercatat hampir 200 Pemerintahan Marga. [Bersambung… ]

*) Muarabeliti, 20 Mei 2022

Share :

Baca Juga

Nusantara

Catatan Akhir Tahun 2022 PWI Pusat
Prima Trisna Aji

Opini

Setelah Pemilu 2024 Apakah Akan Banyak Caleg Yang Masuk Rumah Sakit Jiwa?

Opini

Sekali Lagi Tentang Akidi Tio, Sekali Lagi Soal Sumbangan 2 T
Cahyonoadi Raharyo Sukoco, Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat

Opini

Catatan SMSI Jelang 2024: Soal Media, Jokowi Masih Adil

Opini

Bersama Prima Trisna Aji, Dosen Prodi PGSD Unisri Surakarta Terbitkan Penelitian Kolaborasi Multidisiplin

Nusantara

Matilah Kau Undang-Undang Pers

Opini

KEBON SAWIT TABAPINGIN 1870 (1)

Opini

Analisis Obyektif Tunjangan Wartawan Bersertifikat