Oleh: Hendy UP *)
Suatu hari di akhir Agustus 2004, aku nginap dua malam di gedung tua nan unik peninggalan Belanda. Gedung itu dulu bernama RISPA: kokoh, agak-agak horor, namun tegak-tegap berwibawa. Menjulang tinggi di kompleks yang terawat rapi di jalan Brigjen Katamso Medan. Rasa-rasanya hanya sepelemparan batu dari Masjid Maimun yang legendaris itu.
Kala itu, tiba-tiba aku teringat gedung tua serupa, persis bersebelahan dengan sekolahanku. Di jalan Gatot Subroto Purwokerto , antara tahun 1975 ~ 1977. Gedung tua itu, kata orang adalah eks kantor sekaligus rumah dinas Residen Banyumas di masa Kolonial Londo. Mirip-mirip desain arsitekturnya, sama-sama horor nan mengerikan!
Kembali ke gedung RISPA. Konon dibangun tahun 1916, untuk lembaga Algemeene Vereeniging van Rubber Planters ter Oostkust van Sumatera (AVROS), atau Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatera. Kala itu, Gubernur Jenderal AWF Idenburg di kota hujan Buitenzorg sedang mimikul beban berat dari Ratu Wilhelmina binti Willem III, agar memacu produksi karet, sawit dan teh di tanah jajahan demi menumpuk pundi-pundi kas negara.
Ada trauma getir masa lampau, ketika kas negara defisit, provinsi Belanda Selatan memerdekakan diri menjadi negara Belgia di tahun 1830, karena “nang adong hepeng” untuk menumpas separatisme. Maklum, kala itu kas Nederland terkuras, bahkan berhutang 40-an juta gulden untuk memberangus Pangeran Diponegoro dan Janissary terakhirnya.
Pasca~kemerdekaan RI, di tahun 1957 lembaga itu menjadi Research Institut of the Sumatera Planters Association (RISPA). Pada 24 Desember 1992 berubah nama menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Dan entah sejak kapan, gedung tua itu difungsikan sebagai “basecamp” para peneliti Kebun Induk Marihat atau para tamu dari Bogor dan Jakarta. ***
Siang itu, setelah merampungkan pembicaraan awal tentang rencana kemitraan antara Dinas Perkebunan Musirawas dengan PPKS Medan, saya diajak keliling perpustakaan di kompleks lembaga penelitian itu. Saya membeli beberapa buku. Saat pamitan, saya “disangoni” pula berbagai jurnal dan buku-buku terbitan PPKS. Salah satu bukunya adalah berisi tentang sejarah persawitan di Indonesia, yang menorehkan nama “Tabapingin” tahun 1870 di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe.
Ternyata nama Tabapingin telah mendunia semenjak tahun 1870. Kebetulan, saya pernah membaca arsip peta kuno Belanda di kantor BPN. Peta itu “me-refer map as Hindie” tahun 1906 sebagai wilayah Residentie Palembang & Benkoelen. Mengagetkan!
Ternyata dalam peta itu, hanya tertera: Tebingtinggi, Moearabeliti, Moearakelingi, Soeroelangoen, Tabapingin, dan Moearaaman. Tidak ada Loeboeklinggau atau Coeroep dalam peta.Agaknya, nama-nama desa tersebut berkaitan dengan jalur transportasi sungai dan potensi komoditas sawit, karet atau tambang emas. ***
Riwayat Sawit Tabapingin
Al-kisah, pasca-Belanda menikmati hasil “Tanam Paksa” berupa limpahan uang dari menjual komoditas perkebunan di pasar dunia, merasa perlu menarik investor dari Eropa dengan cara mengundangkan Agrarische Wet, sebagai daya tarik usaha sekaligus jaminan lamanya kepemilikan HGU.
Di sisi lain, para ahli botani di Kebun Raya Bogor telah berhasil mengembangbiakkan 4 biji sawit yang dibawa dari Bourbon Mauritius dan Hortus Amsterdam pada tahun 1848. Setelah cukup berumur, mulailah diujilapangankan di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera.
Mula-mula di Keresidenan Banyumas Jateng (1856-1870), Muaraenim Sumsel (1869), Tabapingin Sumsel (1870), Belitung Sumsel (1890) dan Banten (1895). Tampaknya sedari awal, kelima daerah ini adalah kawasan yang paling feasible dari aspek agroklimat dan kesuburan lahan untuk perkebunan sawit. Tapi mengapa pada fase-fase selanjutnya justeru daerah Sumatera Utara dan Riau yang lebih berhasil mengembangkan sawit? Pasti ada jawabnya! [Bersambung… ]
*) Muarabeliti, 3 Juni 2022