Home / Opini

Jumat, 3 Juni 2022 - 19:01 WIB

MENJADI SAKSI KEMATIAN MARGA (3)

Oleh: Hendy UP *)

Sejujurnya, saya kurang sepaham dengan pendapat JW van Royen bahwa penduduk Uluan Sumbagsel berasal-usul dari tiga pegunungan: Seminung, Dempo dan Kaba.
Argumentasi dasarnya adalah bahwa kecuali di tempat diturunkannya Nabi Adam Alaihis Salam (dan beberapa generasi setelahnya) yang masih belum keluar dari benua asal, pertumbuhan dan peradaban manusia itu dibangun dari/di tepian/pesisir pantai dan/atau di sepanjang sungai-sungai atau danau-danau. Hal ini diperkuat oleh pendapat para ahli yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila” (2011: hal 258).
Ketika pada tahun 1927 JW van Royen mencatat tentang masyarakat Uluan Sumatera Selatan, barangkali kurang cermat dan hanya mencatat sepenggal cerita (tidak komprehensif), sehingga lupa tentang sebuah fakta bahwa peradaban masyarakat Uluan telah berkembang jauh di abad keempat dan kelima, sebelum terbentuknya Kerajaan Sriwijaya di tahun 682 M.
Terlepas dari analisis mitologisnya, mungkin saja ada fase ketika masyarakat kuno Sumbagsel yang hidup di pinggiran sungai-sungai Musi dan anak-anaknya, yang terancam oleh ekspansi pasukan: Wangsa Syailendra, Perompak Cina yang berkuasa 300-an tahun, Kerajaan Majapahit dan serbuan Kolonial Belanda/Inggris, maka mereka menyelamatkan diri (dan bertahan) ke kawasan pegunungan di Uluan Palembang.
Jangan lupa, pada tahun 1819 Kesultanan Palembang pernah diserang Belanda habis-habisan hingga di Muarabeliti. Dua tahun kemudian, pada 6 Juli 1821, Belanda berhsil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II. Dan sangat mungkin, kala itu, 100-an tahun sebelum Van Royen menulis, masyarakat Sumsel yang hidup damai-sejahtera di dusun-dusun di sepanjang aliran sungai-sungai menyelamatkan diri ke gunung-gunung di uluan sungai Musi dan anak-anaknya dan membangun peradabannya sesuai dengan lingkungan pegunungan tersebut.
Terlepas dari polemik muasal manusia purba Sumbagsel, tetapi para antropolog meyakini bahwa telah bertumbuh komunitas purba di pinggiran sungai Musi dan anak-anaknya yang membentuk sebuah peradaban.
Mula-mula terbentuk “rumpun keluarga” yang bersifat genealogis, menetap di sebuah talang/umbul/sosokan, dan berkembang secara kekerabatan yang diikat oleh norma “ke-Puhyang-an”. Dalam masa yang relatif lama, bertumbuhnya populasi generasi baru akan membentuk kelompok kekerabatan yang lebih besar dan membentuk lembaga kekuasaan dan lembaga teritorial yang kelak disebut “dusun” atau “proatin”.
Lembaga sederhana yang terbentuk secara natural-alamiyah tersebut mulai merasakan kebutuhan seorang pemimpin (yang natural) yang dikenal dengan sebutan “primus enter pares” (firts among equals), yang dipilih/disepakati oleh mayoritas warga dusun, dari beberapa tokoh/tetua yang setara keilmuan/kesaktian/kewibawaannya dengan keunggulan tertentu yang akhirnya terpilih.
Pada fase selanjutnya, dalam rangka mempertahankan keutuhan kekerabatan/kesenasiban warga dusun untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya yang semakin beragam serta demi mempertahankan identitas kelompok, maka muncullah kebutuhan norma yang mengikat kekerabatan sedarah (genealogische rechtgemeenschap). Kelak, norma yang dikukuhkan menjadi pegangan dalam kehidupan kekerabatan itu menjadi “norma hukum/adat-istiadat”.
Sebagai mandataris norma hukum adat tersebut ditunjuklah “Sang Pemimpin Dusun” untuk menjaga (mengandang), melaksanakan, mengembangkan dan sekaligus menjatuhkan sanksi adat kepada mereka yang melanggar adat. Di saat itu, hukuman yang paling berat adalah “membuang/mengusir” pelanggar adat dari wilayah dusun, sehingga ada sebutan “wang tebuang” atau “orang kabuang”.
Tupoksi sang Pemimpin Dusun yang pertama dan utama adalah menjaga (mengandang) norma adat-istiadat agar tegak berdiri secara adil dan beradab dan tidak pandang bulu. Oleh karenanya, pemimpin dusun itu dahulu disebut “Pengandang”.
[Bersambung… ]

Baca Juga :  Mbah Warto dan Jejak Pejuang BRN Airtemam (1)

*) Muarabeliti, 1 Juni 2022

Share :

Baca Juga

Opini

Motif Parang Rusak Dalam Kasus ‘Polisi Tembak Polisi’

Opini

Bersama Prima Trisna Aji, Dosen Prodi PGSD Unisri Surakarta Terbitkan Penelitian Kolaborasi Multidisiplin

Opini

SMSI Menata Masa Depan, Memperkenalkan Generasi Milenial pada Metaverse

Opini

Lakon “Si Halu dan Si Narsis” Dalam Kisah Donasi 2 T Berakhir
Prima Trisna Aji

Opini

Setelah Pemilu 2024 Apakah Akan Banyak Caleg Yang Masuk Rumah Sakit Jiwa?
Cahyonoadi Raharyo Sukoco, Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat

Opini

Catatan SMSI Jelang 2024: Soal Media, Jokowi Masih Adil

Opini

Energi Penggerak Ekonomi

Nusantara

Catatan Akhir Tahun 2022: Tanggung Jawab SMSI dan Bisnis Media di Tahun Politik